Jumat, 03 April 2015

Liften, dalam Bahasa Belanda artinya MEMBONCENG. Liften kemudian disadur kedalam Bahasa Prokem atau Bahasa Belanda yang di-Papua-kan menjadi Leften, atau menumpang kendaraan tanpa bayar alias gratis. Entah sejak kapan budaya ini lahir, siapa yang memulainya, bagaimana kejadiannya, dimana...

Gampangnya ikut rumus wartawan, 5W + 1H = what, who, when, where, why, how

Saya sendiri menulis 'The Journey of Life' ini karena terinspirasi buku 'Chiken Soup for The Soul'. Sayang kalau tak dikisahkan, karena leften sebenarnya dilakukan banyak orang, dari ibu hamil sampai Opa Oma, terlebih khusus anak sekolah. Saya yakin banyak orang di Papua yang berhasil meraih cita-citanya karena rajin leften.

Beberapa kisah leften, ingin saya bagikan.
So, this is my story ... Awal mula saya mengenal leften.


Zaman sekolah dulu, saya bukan murid yang suka leften, umumnya anak laki-laki yang melakukannya. Waktu itu jam pelajaran dimulai siang hari, sehingga kami biasanya pulang sekolah antara jam 5-6 sore.
Suatu sore, seperti biasanya, teman-teman cowok mencari tumpangan pulang, leften. Satu setengah jam menunggu, tak satupun kendaraan yang berhenti. Walau susah payah membungkukkan badan, sambil jari telunjuk diangkat, nyaris kayak hormat Jepang, belum berhasil juga.

Waktu mulai gelap, saya punya ide waktu itu, gimana kalau anak-anak cowok sembunyi, kita yang cewek gantian leften. Saya berpikir, mungkin sopirnya lebih punya belas kasih, atau justru mata keranjang, karena kami perempuan. Kalau berhasil, saat kendaraan berhenti, teman-teman cowok segera lari dan naik.
Yupp, semua setuju! Dan hanya sekali leften, Pickup/Blakos (belakang kosong) berhenti. Berhasil!

Satu lagi kebiasaan anak gaul zaman itu, karena tidak banyak tempat hiburan seperti sekarang, kami biasanya melewati Malam Minggu di sepanjang Jalan Percetakan, Pusat Kota Jayapura. Nongkrong di 'Pagar Cinta', dulunya (dalam ingatan saya) itu adalah pagar Puskesmas Jayapura, sekarang Bank Papua, kalau tidak salah. (yang baca dikoreksi saja).

Seperti anak muda lainnya, saya juga tak mau ketinggalan melewati "sepanjang jalan kenangan" itu. Gimana cara nyampe kesana..? Mari kita leften. 
Mengingat uang taksi hanya cukup Kotaraja - Waena, (Sekolah di Kotaraja, Rumah di Waena, Mati jalan ke Jayapura, hadehhh ..), maka untuk sampai ke kota, pilihannya cuma satu, leften.

Pertama kali leften, jantung berdebar-debar, takut ketahuan ortu. Hukumannya berlapis, leften dan keluyuran sepulang sekolah (untungnya tidak ketahuan). Tapi, demi solidaritas, terpaksa dilakukan. Karena minat anak perempuan masuk sekolah di STM itu kurang, (alumni STM ceritanya), kami siswa perempuan, (angkatan saya, tak sampai hitungan 10 jari), sangat kompak, termasuk urusan leften.

Sore itu kami leften. 'Leften Perdana' saya, tujuannya malam Mingguan di Kota. Kami mendapat tumpangan Truk, rada susah naik dengan 'kostum' rok, tapi tidak mengurangi semangat.
Yang paling saya ingat saat itu, saat berada di tanjakan Skyline, ada pohon Geyawas (jambu biji) yang dahannya menjuntai hingga ke pinggir jalan, karena buahnya yang banyak. Seorang teman cewek, tiba-tiba berteriak, "Depan Oom, Depan Oom", truk berhenti tepat dibawah pohon geyawas. Sang sopir berpikir, ada yang mau turun disitu, ternyata tidak. Sengaja teman cewek berteriak 'Depan Oom', hanya untuk 'mencuri' Geyawas.
Untungnya sopir tidak marah, dan menyuruh kami semua turun, kami justru menikmati Geyawas bersama. (jadi kangen sama teman satu ini).

Selanjutnya, leften jadi bagian perjalan hidup saya sampai sekarang ini. Hanya bedanya, kalau dulunya saya leften, sekarang saya yang dileften, atau saya yang menjual jasa gratis ini.
Ada kebahagiaan tersendiri kalau memberi tumpangan bagi orang yang membutuhkan. Saya selalu berpikir, tidak mungkin seseorang leften, kalau tidak ada tujuan.
Apapun tujuan orang, buat saya tidak terlalu penting, yang penting saya telah melakukan 'tugas' saya, memberi tumpangan.

Satu lagi ya..

Antara tahun 2007-2009, saya sempat menggeluti dunia Pers, jadi kuli tinta. Profesi ini menuntut saya untuk mengejar berita. (kalo anak pers bilangnya hunting). Karena harus ke beberapa lokasi, apalagi untuk perjalanan yang cukup jauh, biasanya saya 'bergerak' pagi-pagi sekali, sama paginya dengan waktu anak-anak berangkat sekolah.

Sekali waktu, saya menuju ke Sentani. (Disepanjang jalan, mulai dari Klimbay sampai ke Sentani Kota biasanya banyak anak-anak leften), ada anak-anak usia TK yang leften. Ada pula orangtua yang ikut membantu anaknya leften, agar segera mendapatkan tumpangan.
Hari itu saya mendapat 'konsumen' sangat banyak untuk ukuran motor bebek 5 anak TK. Dalam hati saya berdoa, sama sempurnanya dengan doa di pesawat, (kata orang, doa saat pesawat sedang terbang sangat sempurna, apalagi kalo ada guncangan-guncangan).
"Ya Tuhan, sertai saya dan anak-anak ini sampai ke sekolah mereka masing-masing, jauhkan kami dari bahaya".
Hari itu saya sangat takut, karena anak-anak ini sangat kecil.

Cat : Anak-anak saya juga selalu menumpang motor dalam menjalankan aktivitas mereka, seperti biasa, agar angin sepoi-sepoi tak membuat kantuk, biasanya saya mengajak mereka untuk bernyanyi bersama.

Nah, sebelum bernyanyi, saya menanyakan nama, sekolah dimana, umur berapa, cita-citanya apa. Pertanyaan standart untuk anak-anak. Kemudian mengajak mereka bernyanyi lagu-lagu sekolah minggu, sambil sesekali memperingatkan mereka untuk menjauhkan kaki dari knalpot. Takut terjadi lupus, luka pusaka, atau malah dililit rantai motor. 
"Disitu kadang saya merasa sedih" (baca : takut. Pinjam meme-nya Polwan)..
Motor yang spidometernya biasa saya pacu di angka 80, kali ini saya 'main' di 20/25 saja. Maklum, anak orang yang dibawa, bukan kangkung.

Lega rasanya kalau tiba ditujuan. Mendengar suara merdu mereka, "Terima kasih Tanta",
balasannya, "Terimakasih sayang, Selamat belajar, Tuhan berkati".
( Dalam hati, "Thank You Lord".)

Sepintas saya berpikir untuk tidak memberi tumpangan kepada mereka, karena mereka terlalu kecil, tetapi saya juga berpikir, jangan sampai karena tidak dapat tumpangan, mereka tidak sekolah.

Alasan anak-anak atau orang tua leften itu biasanya karena, tidak punya uang, taksi full terus dan takut terlambat sekolah. Mungkin Anda yang suka leften punya alasan sendiri.
Bagi saya, leften bukan sesuatu yang tabu atau melanggar hukum, jadi tak ada salahnya dilakukan. Sayangnya banyak dari kita yang ogah memberi tumpangan, alasannya buru-buru, malas berhenti-berhenti, bahkan ada juga yang berpikir yang leften mungkin saja penjahat.

Bicara 'penjahat', ini satu lagi (satu truss..), kisah leften saya.

Bagi saya, OPM bukan penjahat, TNI juga bukan penjahat. Silahkan masing-masing menilai, sekalian uji nasionalisme anda dari kisah ini.

Tahun 2012, ada pekerjaan yang harus saya lakukan, dan untuk menuju ke tempat kerja itu saya harus melewati daerah atau Kampung Tinggi Nabut (dikoreksi kalau salah menulis nama kampung), yang menurut orang cukup bahaya, karena disitu ada Markas OPM.
Saya ingat persis hari itu tanggal, 30 November. Biasanya situasi politik jelang 1 Desember itu meninggi. Tapi karena deadline pekerjaan, saya tidak berpikir sejauh itu. Saya dan tiga orang teman, menyewa pickup dari Wamena.
Singkat cerita, dipertengahan jalan, ada dua orang TNI dengan menyandang senjata, leften. Rupanya sopir disana takut memberi tumpangan kepada TNI, untuk menghindari tembakan OPM saat melewati Tinggi Nabut. Sopir terus melaju. Spontan saya memukul badan mobil untuk menghentikan laju kendaraan ini (naluri leften), agar dua TNI bisa ikut menumpang. Merekapun turut dalam perjalanan kami.

Dari Wamena saya memang sengaja duduk di bak mobil, karena ingin menikmati udara pegunungan dan keindahan alamnya. Mobil dua kabin ini ditumpangi juga oleh seorang Kepala Suku dan anak perempuannya. Kami sampai ditujuan dengan selamat, everything it's okey, sampai dua TNI itu menjauh.

Selanjutnya drama diantara kita dimulai.

"Ma' Ut, (panggilan kampung), tidak boleh kasih tumpangan sama TNI, untung kita tadi tidak ditembak, ini menjelang 1 Desember. OPM ada dipinggir-pinggir jalan dengan senjata, ada di gunung-gunung, nanti kita pulang bagaimana, pasti mereka sudah tunggu kita. Bukan berarti suka angkut orang leften, jadi angkut orang sembarang saja, kita dalam bahaya, and bla...bla...bla..." (dapa marah frey-frey).

Jujur, jantung saya berdegup kencang. Speechless!

Kepala Suku menambahkan,
"Anak, orang disini tidak suka sama Tentara, kalau ada yang kasih tumpangan, sopirnya nanti ditembak, kalau tidak ada mobil yang jalan, kami tidak bisa ke Wamena".

Saya hanya mampu menjawab,
"Bapa, saya minta maaf, saya tidak tahu", sambil memandang sopir yang kelihatannya mengerti kalau saya memang benar-benar tidak tahu kondisi disana.

Karena merasa bersalah, walaupun sebenarnya tidak, pikiran saya cuma satu, "Selamat sampai di rumah atau tidak", ingat anak-anak, ingat orang tua, bikin lemas. Waktu berlalu, pekerjaan beres, perjalanan pulang rasanya seminggu, tapi akhirnya tiba kembali dengan selamat di Wamena.

Disitu saya ingin 'balas dendam'. "Supaya kalian tahu, apapun yang kalian kerjakan, selama itu dilakukan dari hati dan tulus, Tuhan akan menuntunmu", sok Rohani dikit. Maksudnya untuk membenarkan leftennya TNI.
Kata teman, "Ah, mentang-mentang sudah sampai di Wamena, jadi ngomongnya begitu".

Masih banyak kisah menarik tentang leften. (lain waktu ditulis lagi). Entah sudah berapa orang yang saya leften, yang saya beri tumpangan atau yang saya tawarkan sendiri jasa ini. Tak pernah menghitung, tapi yang pasti saya suka sekali melakukannya, walau kadang anak-anak saya merasa terganggu kenyamanannya.
Saya selalu bilang, "Kalian tidak pernah leften, jadi kalian tidak tahu betapa berartinya diberi tumpangan".

Sebelum menutup saya tambahkan satu lagi cerita (satu saja yaa...), sorry kalo capek bacanya.
Cerita leften ini baru saja saya alami. Kebetulan saya dipinjamkan mobil Pajero Sport.
Untuk anak leften, Pajero bukan pilihan. Mobil bos/pejabat katanya, tidak mungkin stop kalo dileften. Pickup dan motor sasaran mereka.

Dalam perjalanan ke kantor, enam anak usia SD leften, dan saya mempersilahkan mereka naik. Sampai ditujuan, mereka turun, kemudian berbaris dan memberi hormat. Surprise! Pikir saya, biasanya cuma ucapan terima kasih atau mungkin karena dalam pikiran mereka saya seorang pejabat, jadi harus diberi penghormatan!
Hehehe ... Ada-ada saja! Saya pun tak lupa memberi hormat.

To be continue >>>

Tidak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan, satu ayat alkitab yang ingin saya bagikan,
"Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia" (Kolose 3:23)

0 komentar:

Posting Komentar