LADA PAPUA
Lada
bukan berarti bumbu dapur, Lada Papua yang saya maksud disini adalah lagu
daerah yang berasal dari berbagai suku dan bangsa di Papua. Di era 1970-an lada
cukup meletup dikuping orang yang dilantumkan group Band Manyori(burung Nuri).
Nama Manyori ini tidak bertahan lama karena burung Nuri lebih merupakan burung suci orang
Biak Numfor saja, sementara burung kuning dihormati oleh semua suku-suku di
seluruh Papua Barat sebagai mahkota kepala suku. Maka pada era 1980-an lahirlah
Mambesak “Cenderawasih atau burung kuning”.
Group
Mambesak mampu menggarab Lada Papua Barat dengan bahasa suku yang ada di Papua kemudian
di arrangements dengan alat musik lokal yang sangat sederhana seperti Tifa,
Suling bambu, Tambur, Ukulele, Tabura(kulit Kerang) dan lainnya.
Lada
Papua yang dinyanyikan kelompok Mambesak mewakili suku dan bahasa masing-masing
daerah seperti Waniambei (Tobati – Jayapura), Na Sisar matiti (Teluk Bintuni), Lenso
Inoni Nifako(Waropen), Akai Bipa Mare (Mimika), Basiri Buruai(kaimana), Henggi
Iha (Fak Fak), Yapo Mamacica (Asmat), Mate Mani Inanwatan(Sorong), Nit
Pughuluok En (Kurima - Jayawijaya), Wayut Lo (Muyu-Merauke), Piruje(Moor-Nabire),
Omentaiseo (Teminabuan-Sorong), Syowi Yena (Biak-Numfor) dan Maitwu
Som(Arso-Jayapura).
Dengan
berkembangnya arus migrasi dan pembangunan di Papua, Lada mulai surut, kini kebangkitan
lada kreasi sudah sering digunakan dalam festival lagu dan kesenian daerah. Redupnya
Lada sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1975, ketika pertama kali diadakan
festifal tari daerah se-provinsi Papua Barat di Port Numbay(Jayapura), dimana
sekitar 35 kelompok tari mengambil bagian.
Lada
Papua Barat yang nongol dipentas provinsi maupun nasional terbatas pada satu
lagu asal Biak Numfor “APUSE”, lagu berpisahan seorang cucu yang sebelumnya
pergi merantau meminta doa restu kakeknya. Boleh dibilang lada ini sudah
menjadi konsumsi nasional, dimana RRI
dalam program pendidikan Sekolah Dasar menggunakan instruments Apuse di era
1980-an.
Kini
telah banyak group tari dan band yang hadir di Papua, hanya saja belum mampu
mempertahankan dan mengangkat Lada Papua seperti group band Manyori, Mambesak, Yaromba,
Pindotu, Munabay, Bewi, Erisam, Sandia (Fajar), Kamasan(pandai besi), Kurana
Mambesak(burung cenderawasih raja), Apuse, Ai Mando 81(pulau-pulau dalam bahasa
Biak klasik) sedangkan angka 81 bermakna 8 kecamatan menjadi 1 kabupaten Biak
Numfor, yang semuanya berasal dari daerah Teluk Saireri yang kini dikenal
dengan nama Teluk Cenderawasih.
Sebut
saja almarhum Sam Kapissa, pendiri group musik Sandia yang juga pencipta begitu
banyak Lada bagi gerasi penerus Papua melihat terdapat dua aliran dalam
pengembangan seni musik daerah Papua Barat.


Lada
Papua bukan hanya disukai warga Papua, namun hampir semua orang Indonesia yang
berdomisii di Tanah Papua menyukainya, hanya saja arti sebuah Lada itu sulit dimengerti
oleh new comer atau suku lain di Papua karena kultur dan bahasa. Misalkan saja,
lagu Awin Kamam dari Biak Numfor yang dinyanyikan oleh Trio Ambisi. Semua orang menghafalkan teks lagu ini dengan tepat,
tetapi belum tentu memahami arti isi Lada tersebut.
Lada
dengan bahasa Biak ini yang dapat menterjemahkan sesuai kultur dan bahasa
adalah suku bangsa Biak tulen, bukan peranakan atau suku Biak lahir dan besar
diluar pulau Biak . Kata-kata yang terkandung
dalam lagu ini mengandung makna histories yang sulit diterjemahkan kaum muda
Papua asal Biak Numfor, yang mereka pahami adalah kata Awin & Kamam (Mama
& Bapa), begitu juga Lada dari Papua yang lain diseantero pulau Kasuari. Maka
disinilah terjadi abrasi bahasa dan kultur yang bermuara lahirnya lada dan
musik kreasi Papua.
Lain
halnya dengan kelompok musik yang lahir pada era 1970-an sampai 1980-an di Papua
Barat seperti Coconut, Black Papas, Black Sweet, Black Brothers dimana hampir
semua group musik ini membawakan lagu dalam bahasa Indonesia, tetapi kata-kata
yang tercantum didalamnya menceritakan dan menyampaikan keadaaan Papua Barat
sesungguhnya dari berbagai sisi kepada pemerintah Indonesia di Jakarta untuk dijadikan
asupan agar kelak pembangunan di Papua Barat sama dengan daerah lain di
Indonesia.
Aliran
kelompok musik ini tidak bertahan lama di Papua Barat, walaupun sukses membawa dan
merubah warna musik Indonesia ,
mereka dianggap sebagai kelompok musik yang memperkeruh situasi politik di
Papua Barat, akhirnya dengan kepemimpinan Alm. Haji Soekarto yang begitu
otoriter mereka tepencar ke belahan dunia lain.
Redupnya
musik dan Lada Papua tidak mematahkan semangat kaum penerus di Papua. Banyak
group musik dan tari yang lahir dan bahkan penyani Lada tunggal seperti Mecu
Imbiri, Steve Waramori, Agus Samori dan masih banyak lagi.**Joe**
SARANA PENYAMPAIAN
PESAN
Bukan
hanya Lada Papua, namun pencipta lagu seantero dunia menyampaikan pesan dan perasaan
yang sudah berlalu atau sedang dialami seseorang melalui lagu, puisi atau sajak.
Kamu akan menjadikan salah satu lagu sebagai lagu kenangan sepanjang kehidupan
kamu, entah itu Lada, lagu berbahasa Indonesia , Inggris atau bahasa
asing lainnya.
Lada
di Papua memang begitu meroket di era 1980-an ketika group Mambesak mengangkat
Lada Papua Barat dalam acara “open event” setiap hari minggu di halaman Loka
Budaya Antropologi Universitas Cenderwasih Jayapura, demikian dituturkan Steve
Waramori, SH, pengacara Papua yang menyukai Lada Papua sejak duduk di kelas II SMP Negeri 1 Abepura.
Pekerjaan
yang ditekuni Steve cukup melelahkan dan memerlukan ekstra tenaga dalam penyelesaian
suatu kasus Pidana maupun Perdata. Namun kesukaan terhadap Lada Papua bagi Steve
sudah menyatuh dengan kehidupannya. Walaupun begitu sibuk dengan pekerjaannya,
Steve mampu memproduksikan sebanyak 2 album dalam bentuk kaset dan VCD yang begitu laris manis di pasaran Papua.
Menurut
Steve tidak semua Lada itu diterima masyarakat umum, apalagi dikalangan ABG yang selalu mengikuti trend dan arus
moderenisasi. Mereka lebih cepat menyukai lagu-lagu daerah yang menceritakan
tentang seseorang yang putus cinta atau sedang dilanda asmara . Sebenarnya mereka belum memahami arti
isi lagu, tetapi dari petikan musik dan kata-kata yang dilantumkan akan mereka rasakan
dan memahaminya. Hal itu terbukti dengan lagu karyanya berjudul “…………………………”
pada volume I. Begitu saya release hampir semua kaum muda dan anak-anak
menyukai dan menyanyi di jalan-jalan, dalam taksi, tempat-tempat rekreasi dan
dimana saja.
Guna
mempertahankan Lada Papua yang bermutu, seorang pencipta lagu atau penyusun
notasi mesti mengerti budaya dimana lagu itu berasal, dengan demikian gubahan
dapat diterima khalayak umum. Steve sendiri menggunakan beberapa irama musik
seperti blues, Reggae, pop dan rap seiring dengan perkembangan musik daerah
dalam melodi import.
Kita
akui, pemda belum menjalankan tugas mengangkat LADA Papua dipentas yang
melibatkan kaum muda dari berbagai suku dan bangsa yang ada di tanah Papua;
padahal mereka memiliki talenta yang begitu brillian.
Untuk
mempertahankan LADA Papua sebenarnya tidak begitu sulit kalau saja ada kontrol dari
pihak terkait seperti Dewan Kesenian Daerah Papua atau Dinas Pariwisata Papua.
Orang akan senang dan bertanya ketika mendengar LADA Papua pada acara pembukaan
suatu event atau pada live music di hotel, pub, Karaoke, Diskotik atau acara
lain yang bernuansa nasional di Papua.
Jika
tidak demikian secara perlahan-lahan kejajaan Lada Papua akan menguap seiring
dengan semakin punahnya burung cenderawasih.
Gebrakan Melodi Import
Perkembangan zaman semakin
membawa perubahan disegala ruang dalam tatanan sosial budaya masyarakat Papua.
Tanpa merubah arti dan makna melodi import mulai terinveksi hampir disetiap
lagu daerah yang dinyanyikan secara berkelompok, duet atau single. Hadirnya
melodi import yang dimainkan melalui Keyboard, Guitar, Biola menggeser nada dan
irama Lada Papua. Pergeseran terjadi bukan hanya pada Lada Papua tetapi hampir
disemua aspek kultur Papua, kecuali daerah yang masih terisolasi dengan jangkau
misionaris dan pelayanan pemerintah Indonesia .
Jika dicermati, Lada Papua
cukup access dan bertahan lama dipasaran, hanya saja system managementnya
kurang berjalan mulus serta belum adanya proteksi dari mereka yang berkompoten.
Banyak group yang menyanyi lagu karya orang lain dengan mencantum NN (No name),
ada juga yang mengaku ciptaannya bila Lada itu mencuat dan bertahan lama
dipermukaan. Baiknya di Papua adopsi hak cipta sampai sekarang belum sampai ke
meja hijau.
Hadirnya melodi import
melahirkan banyak kelompok musik guna mempertahankan Lada Papua. Salah satu
kelompok musik yang lagi naik daun dengan Lada Papua khususnya Lada Pegunungan
Tengah adalah Manico Group.
Manico Group dibawah pimpinan
David Wanimbo, SE mampu mengangkat Lada
Pegunungan Tengah yang selama ini kurang dikenal. Kelompok ini membawakan Lada
dengan ciri khas kultur pegunungan Papua. Mereka menggunakan melodi import
tanpa merubah arti, kata, makna dan bahasa suatu teks.
Menurut David Wanimbo, Group
yang dipimpinnya telah merilis sebanyak 3 album dalam bentuk kaset dan MP3
untuk Volume I. Lada yang dibawahkan kelompok Manico cukup digemari masyarakat
Papua, dan sebanyak 10 lagu masuk dalam daftar Nada Sambung Pribadi(NSP)
Telkomsel Indonesia tahun 2008. Terpilihnya ke-10 NSP ini atas permintaan
masyarakat setelah mereka mengikuti dan mendengar lagu kami yang disiarkan
langsung melalui program RRI Pro 2
Jakarta pertengahan September 2007 lalu dimana kami diinterview selama 4 jam
karena masyarakat Pegunungan Tengah berani tampil mengangkat Lada dan musik
khas daerah gunung, demikian kata David. Ke-10 lagu yang dimaksud dengan kode
NSP diantaranya adalah Luka-1250142, O Wamena 1250145, Ap Yali 1250140, Nagalo
1250141, Fano Melalek 1250143, Welaleho 1250144.
Walaupun sukses merilis volume
I, II dan III tetapi masih merasa tidak aman dengan lagu-lagu yang bernuansa wilayah
Pegunungan Tengah itu, apalagi kabupaten Yahukimo sendiri belum terbentuk
institusi yang bisa memproteksi karya Manico Group. Dewan Kesenian Daerah Papua
yang mestinya berperan melindungi dan melestarikan setiap karya seni sedini
mungkin sebelum termakan jiplakan oleh oknum-oknum yang tidak mematuhi hukum.
Manico Group layak diberikan isapan
jempol, boleh dibilang baru seumur jagung, tetapi mampu membawakan sebanyak 36
lagu terbaik dalam satu tahun dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten
Yahukimo. Harga per kaset sangat bervariasi, di Jayapura dijual RP. 45. 000,
sedangkan di Wamena, Yahukimo, Tokikara, Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang
sebesar Rp. 50.000.
Pimpinan Manico Group,
mengatakan ia ingin mengangkat lagu-lagu daerah Pegunungan Tengah Papua dengan
personil anak asli untuk menjaga pengucapan kata, bahasa, mutu dan kualitas
tetap terjaga. Kami berencana akan berangkat ke Jakarta dalam bulan ini masuk studio rekaman
menggarap volume IV dan V untuk menghibur masyarakat Papua umumnya dan
Pegunungan Tengah Papua khususnya.
0 komentar:
Posting Komentar