Sabtu, 13 Juni 2015


LADA PAPUA

Lada bukan berarti bumbu dapur, Lada Papua yang saya maksud disini adalah lagu daerah yang berasal dari berbagai suku dan bangsa di Papua. Di era 1970-an lada cukup meletup dikuping orang yang dilantumkan group Band Manyori(burung Nuri). Nama Manyori ini tidak bertahan lama karena  burung Nuri lebih merupakan burung suci orang Biak Numfor saja, sementara burung kuning dihormati oleh semua suku-suku di seluruh Papua Barat sebagai mahkota kepala suku. Maka pada era 1980-an lahirlah Mambesak “Cenderawasih atau burung kuning”.

Group Mambesak mampu menggarab Lada Papua Barat dengan bahasa suku yang ada di Papua kemudian di arrangements dengan alat musik lokal yang sangat sederhana seperti Tifa, Suling bambu, Tambur, Ukulele, Tabura(kulit Kerang) dan lainnya.

Lada Papua yang dinyanyikan kelompok Mambesak mewakili suku dan bahasa masing-masing daerah seperti Waniambei (Tobati – Jayapura), Na Sisar matiti (Teluk Bintuni), Lenso Inoni Nifako(Waropen), Akai Bipa Mare (Mimika), Basiri Buruai(kaimana), Henggi Iha (Fak Fak), Yapo Mamacica (Asmat), Mate Mani Inanwatan(Sorong), Nit Pughuluok En (Kurima - Jayawijaya), Wayut Lo (Muyu-Merauke), Piruje(Moor-Nabire), Omentaiseo (Teminabuan-Sorong), Syowi Yena (Biak-Numfor) dan Maitwu Som(Arso-Jayapura).

Dengan berkembangnya arus migrasi dan pembangunan di Papua, Lada mulai surut, kini kebangkitan lada kreasi sudah sering digunakan dalam festival lagu dan kesenian daerah. Redupnya Lada sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1975, ketika pertama kali diadakan festifal tari daerah se-provinsi Papua Barat di Port Numbay(Jayapura), dimana sekitar 35 kelompok tari mengambil bagian.

Lada Papua Barat yang nongol dipentas provinsi maupun nasional terbatas pada satu lagu asal Biak Numfor “APUSE”, lagu berpisahan seorang cucu yang sebelumnya pergi merantau meminta doa restu kakeknya. Boleh dibilang lada ini sudah menjadi konsumsi nasional, dimana RRI dalam program pendidikan Sekolah Dasar menggunakan instruments Apuse di era 1980-an.

Kini telah banyak group tari dan band yang hadir di Papua, hanya saja belum mampu mempertahankan dan mengangkat Lada Papua seperti group band Manyori, Mambesak, Yaromba, Pindotu, Munabay, Bewi, Erisam, Sandia (Fajar), Kamasan(pandai besi), Kurana Mambesak(burung cenderawasih raja), Apuse, Ai Mando 81(pulau-pulau dalam bahasa Biak klasik) sedangkan angka 81 bermakna 8 kecamatan menjadi 1 kabupaten Biak Numfor, yang semuanya berasal dari daerah Teluk Saireri yang kini dikenal dengan nama Teluk Cenderawasih.

Sebut saja almarhum Sam Kapissa, pendiri group musik Sandia yang juga pencipta begitu banyak Lada bagi gerasi penerus Papua melihat terdapat dua aliran dalam pengembangan seni musik daerah Papua Barat.
*   Ingin meng-Papua-kan musik popular, misalnya dengan mengarang lagu berirama keroncong ke dalam salah satu bahasa suku di Papua.
*        Ingin mencoba mempopulerkan musik Papua, tanpa harus mengubah.

Lada Papua bukan hanya disukai warga Papua, namun hampir semua orang Indonesia yang berdomisii di Tanah Papua menyukainya, hanya saja arti sebuah Lada itu sulit dimengerti oleh new comer atau suku lain di Papua karena kultur dan bahasa. Misalkan saja, lagu Awin Kamam dari Biak Numfor yang dinyanyikan oleh Trio Ambisi. Semua orang  menghafalkan teks lagu ini dengan tepat, tetapi belum tentu memahami arti isi Lada tersebut.

Lada dengan bahasa Biak ini yang dapat menterjemahkan sesuai kultur dan bahasa adalah suku bangsa Biak tulen, bukan peranakan atau suku Biak lahir dan besar diluar pulau Biak. Kata-kata yang terkandung dalam lagu ini mengandung makna histories yang sulit diterjemahkan kaum muda Papua asal Biak Numfor, yang mereka pahami adalah kata Awin & Kamam (Mama & Bapa), begitu juga Lada dari Papua yang lain diseantero pulau Kasuari. Maka disinilah terjadi abrasi bahasa dan kultur yang bermuara lahirnya lada dan musik kreasi Papua.

Lain halnya dengan kelompok musik yang lahir pada era 1970-an sampai 1980-an di Papua Barat seperti Coconut, Black Papas, Black Sweet, Black Brothers dimana hampir semua group musik ini membawakan lagu dalam bahasa Indonesia, tetapi kata-kata yang tercantum didalamnya menceritakan dan menyampaikan keadaaan Papua Barat sesungguhnya dari berbagai sisi kepada pemerintah Indonesia di Jakarta untuk dijadikan asupan agar kelak pembangunan di Papua Barat sama dengan daerah lain di Indonesia.

Aliran kelompok musik ini tidak bertahan lama di Papua Barat, walaupun sukses membawa dan merubah warna musik Indonesia, mereka dianggap sebagai kelompok musik yang memperkeruh situasi politik di Papua Barat, akhirnya dengan kepemimpinan Alm. Haji Soekarto yang begitu otoriter mereka tepencar ke belahan dunia lain.

Redupnya musik dan Lada Papua tidak mematahkan semangat kaum penerus di Papua. Banyak group musik dan tari yang lahir dan bahkan penyani Lada tunggal seperti Mecu Imbiri, Steve Waramori, Agus Samori dan masih banyak lagi.**Joe**

SARANA PENYAMPAIAN PESAN

Bukan hanya Lada Papua, namun pencipta lagu seantero dunia menyampaikan pesan dan perasaan yang sudah berlalu atau sedang dialami seseorang melalui lagu, puisi atau sajak. Kamu akan menjadikan salah satu lagu sebagai lagu kenangan sepanjang kehidupan kamu, entah itu Lada, lagu berbahasa Indonesia, Inggris atau bahasa asing lainnya.

Lada di Papua memang begitu meroket di era 1980-an ketika group Mambesak mengangkat Lada Papua Barat dalam acara “open event” setiap hari minggu di halaman Loka Budaya Antropologi Universitas Cenderwasih Jayapura, demikian dituturkan Steve Waramori, SH, pengacara Papua yang menyukai Lada Papua sejak duduk di kelas II SMP Negeri 1 Abepura.

Pekerjaan yang ditekuni Steve cukup melelahkan dan memerlukan ekstra tenaga dalam penyelesaian suatu kasus Pidana maupun Perdata. Namun kesukaan terhadap Lada Papua bagi Steve sudah menyatuh dengan kehidupannya. Walaupun begitu sibuk dengan pekerjaannya, Steve mampu memproduksikan sebanyak 2 album dalam bentuk kaset dan VCD yang begitu laris manis di pasaran Papua.

Menurut Steve tidak semua Lada itu diterima masyarakat umum, apalagi dikalangan ABG yang selalu mengikuti trend dan arus moderenisasi. Mereka lebih cepat menyukai lagu-lagu daerah yang menceritakan tentang seseorang yang putus cinta atau sedang dilanda asmara. Sebenarnya mereka belum memahami arti isi lagu, tetapi dari petikan musik dan kata-kata yang dilantumkan akan mereka rasakan dan memahaminya. Hal itu terbukti dengan lagu karyanya berjudul “…………………………” pada volume I. Begitu saya release hampir semua kaum muda dan anak-anak menyukai dan menyanyi di jalan-jalan, dalam taksi, tempat-tempat rekreasi dan dimana saja.

Guna mempertahankan Lada Papua yang bermutu, seorang pencipta lagu atau penyusun notasi mesti mengerti budaya dimana lagu itu berasal, dengan demikian gubahan dapat diterima khalayak umum. Steve sendiri menggunakan beberapa irama musik seperti blues, Reggae, pop dan rap seiring dengan perkembangan musik daerah dalam melodi import.  

Kita akui, pemda belum menjalankan tugas mengangkat LADA Papua dipentas yang melibatkan kaum muda dari berbagai suku dan bangsa yang ada di tanah Papua; padahal mereka memiliki talenta yang begitu brillian.
 
Untuk mempertahankan LADA Papua sebenarnya tidak begitu sulit kalau saja ada kontrol dari pihak terkait seperti Dewan Kesenian Daerah Papua atau Dinas Pariwisata Papua. Orang akan senang dan bertanya ketika mendengar LADA Papua pada acara pembukaan suatu event atau pada live music di hotel, pub, Karaoke, Diskotik atau acara lain yang bernuansa nasional di Papua.

Jika tidak demikian secara perlahan-lahan kejajaan Lada Papua akan menguap seiring dengan semakin punahnya burung cenderawasih.

Gebrakan Melodi Import

Perkembangan zaman semakin membawa perubahan disegala ruang dalam tatanan sosial budaya masyarakat Papua. Tanpa merubah arti dan makna melodi import mulai terinveksi hampir disetiap lagu daerah yang dinyanyikan secara berkelompok, duet atau single. Hadirnya melodi import yang dimainkan melalui Keyboard, Guitar, Biola menggeser nada dan irama Lada Papua. Pergeseran terjadi bukan hanya pada Lada Papua tetapi hampir disemua aspek kultur Papua, kecuali daerah yang masih terisolasi dengan jangkau misionaris dan pelayanan pemerintah Indonesia.

Jika dicermati, Lada Papua cukup access dan bertahan lama dipasaran, hanya saja system managementnya kurang berjalan mulus serta belum adanya proteksi dari mereka yang berkompoten. Banyak group yang menyanyi lagu karya orang lain dengan mencantum NN (No name), ada juga yang mengaku ciptaannya bila Lada itu mencuat dan bertahan lama dipermukaan. Baiknya di Papua adopsi hak cipta sampai sekarang belum sampai ke meja hijau.

Hadirnya melodi import melahirkan banyak kelompok musik guna mempertahankan Lada Papua. Salah satu kelompok musik yang lagi naik daun dengan Lada Papua khususnya Lada Pegunungan Tengah adalah Manico Group.

Manico Group dibawah pimpinan David Wanimbo, SE  mampu mengangkat Lada Pegunungan Tengah yang selama ini kurang dikenal. Kelompok ini membawakan Lada dengan ciri khas kultur pegunungan Papua. Mereka menggunakan melodi import tanpa merubah arti, kata, makna dan bahasa suatu teks.

Menurut David Wanimbo, Group yang dipimpinnya telah merilis sebanyak 3 album dalam bentuk kaset dan MP3 untuk Volume I. Lada yang dibawahkan kelompok Manico cukup digemari masyarakat Papua, dan sebanyak 10 lagu masuk dalam daftar Nada Sambung Pribadi(NSP) Telkomsel Indonesia tahun 2008. Terpilihnya ke-10 NSP ini atas permintaan masyarakat setelah mereka mengikuti dan mendengar lagu kami yang disiarkan langsung melalui program RRI Pro 2 Jakarta pertengahan September 2007 lalu dimana kami diinterview selama 4 jam karena masyarakat Pegunungan Tengah berani tampil mengangkat Lada dan musik khas daerah gunung, demikian kata David. Ke-10 lagu yang dimaksud dengan kode NSP diantaranya adalah Luka-1250142, O Wamena 1250145, Ap Yali 1250140, Nagalo 1250141, Fano Melalek 1250143, Welaleho 1250144.

Walaupun sukses merilis volume I, II dan III tetapi masih merasa tidak aman dengan lagu-lagu yang bernuansa wilayah Pegunungan Tengah itu, apalagi kabupaten Yahukimo sendiri belum terbentuk institusi yang bisa memproteksi karya Manico Group. Dewan Kesenian Daerah Papua yang mestinya berperan melindungi dan melestarikan setiap karya seni sedini mungkin sebelum termakan jiplakan oleh oknum-oknum yang tidak mematuhi hukum.

Manico Group layak diberikan isapan jempol, boleh dibilang baru seumur jagung, tetapi mampu membawakan sebanyak 36 lagu terbaik dalam satu tahun dan mendapat dukungan dari pemerintah kabupaten Yahukimo. Harga per kaset sangat bervariasi, di Jayapura dijual RP. 45. 000, sedangkan di Wamena, Yahukimo, Tokikara, Puncak Jaya dan Pegunungan Bintang sebesar Rp. 50.000.

Pimpinan Manico Group, mengatakan ia ingin mengangkat lagu-lagu daerah Pegunungan Tengah Papua dengan personil anak asli untuk menjaga pengucapan kata, bahasa, mutu dan kualitas tetap terjaga. Kami berencana akan berangkat ke Jakarta dalam bulan ini masuk studio rekaman menggarap volume IV dan V untuk menghibur masyarakat Papua umumnya dan Pegunungan Tengah Papua khususnya. 

0 komentar:

Posting Komentar